Tragedi Pernikahan di Garut: Akademisi Desak Proses Hukum Tegas, Bukan Hanya Santunan

HAI GARUT – Tragedi memilukan yang merenggut tiga nyawa dalam rangkaian acara resepsi pernikahan pasangan Maula dan Putri di kawasan Alun-Alun Garut terus menjadi sorotan publik. Tak hanya menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban, insiden ini juga memunculkan polemik hukum di tengah masyarakat. Kalangan akademisi dan pakar hukum menuntut agar penanganan kasus ini tidak berhenti hanya pada santunan.
Salah satu yang angkat bicara adalah Dr. Drs. Cecep Suhardiman, SH., MH., C.Med., Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Ia menilai peristiwa tersebut mengandung unsur tindak pidana kelalaian sebagaimana tertuang dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
“Ini bukan sekadar musibah. Ini adalah pelanggaran hukum yang harus diproses secara pidana. Santunan tidak menghapus unsur pidana dalam kasus ini,” tegas Dr. Cecep saat diwawancarai Minggu (20/7/2025).
Bukan Delik Aduan, Penegak Hukum Harus Proaktif
Menurut Dr. Cecep, kasus ini tergolong delik biasa, yang berarti proses hukumnya bisa berjalan tanpa perlu laporan dari pihak korban. Ia mendesak kepolisian dan kejaksaan untuk segera bertindak sesuai kewenangannya.
“Kalau hukum ingin benar-benar ditegakkan, aparat tidak perlu menunggu pengaduan. Tiga orang meninggal dunia ini sudah lebih dari cukup untuk membuka penyelidikan,” katanya.
Ia pun menyampaikan apresiasi atas pernyataan Kapolda Jawa Barat yang mengungkap komitmen untuk mengusut tuntas kasus ini. Namun, Dr. Cecep menekankan pentingnya tindakan nyata, bukan sekadar pernyataan publik.
“Jangan hanya berhenti di konferensi pers. Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan dan akuntabel,” tegasnya lagi.

Penyertaan dalam Kejahatan: Bukan Cuma Satu Pihak
Lebih lanjut, Dr. Cecep juga menyinggung kemungkinan penggunaan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana. Menurutnya, pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan acara, mulai dari panitia, pemilik venue, hingga pihak keamanan, perlu diperiksa untuk mengungkap ada atau tidaknya unsur kelalaian kolektif.
“Kalau terbukti ada unsur lalai dalam perencanaan atau pengawasan acara, maka semua yang terlibat bisa dikenai pertanggungjawaban pidana. Ini soal nyawa manusia, bukan sekadar acara hiburan,” katanya dengan nada serius.
Putri Karlina Tunjukkan Empati, Namun Serukan Refleksi Mendalam
Sementara itu, Putri Karlina, mempelai wanita sekaligus sosok publik yang namanya banyak disebut, menyampaikan duka cita yang mendalam. Ia secara langsung mengunjungi keluarga korban dan menyatakan komitmen moral untuk terus mendampingi mereka.
“Kehilangan nyawa tidak bisa digantikan dengan uang. Saya sangat berduka dan merasa bertanggung jawab secara moral atas kejadian ini,” ungkap Putri.
Ia juga meluruskan isu soal adanya penyebaran informasi mengenai makanan gratis yang disebut menjadi pemicu kerumunan. Menurutnya, tidak pernah ada ajakan resmi kepada masyarakat umum untuk datang mengambil makanan.
“Kami hanya menyiapkan sisa makanan yang belum keluar untuk dibagikan agar tidak mubazir. Tidak ada maksud mengundang kerumunan besar. Tapi kami tidak menyangka antusiasme warga akan sebesar itu,” ujar Putri.
Masyarakat Menanti Langkah Tegas Aparat
Hingga kini, publik menunggu sikap tegas dari aparat penegak hukum. Masyarakat berharap tragedi ini menjadi momentum refleksi atas pentingnya standar keselamatan dalam setiap penyelenggaraan acara publik, serta penegakan hukum yang tidak pandang bulu.
“Keadilan bukan hanya untuk korban dan keluarga, tetapi juga untuk mencegah tragedi serupa terulang. Negara tidak boleh abai,” tutup Dr. Cecep.
Kini, bola panas ada di tangan penegak hukum: akankah mereka bergerak cepat menegakkan keadilan, atau kasus ini akan kembali jadi catatan kelam yang terkubur bersama simpati dan santunan?***