Tragedi Pernikahan Elit: PB HMI Desak Copot Kapolda Metro dan Evaluasi Bupati Garut, Putri Karlina Tunjukkan Empati Langsung

HAI GARUT – Sebuah pesta pernikahan mewah yang semula dikemas sebagai “pesta rakyat”, mempertemukan dua anak pejabat elit—anak Gubernur Jawa Barat dan anak Kapolda Metro Jaya, berakhir dengan luka dan duka. Bukannya menjadi ajang bahagia, kerumunan besar tanpa kendali justru menelan korban jiwa, menyulut gelombang kemarahan publik.
Tragedi ini menjadi sorotan nasional. Salah satu suara keras datang dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), yang mengecam tajam peristiwa tersebut sebagai simbol nyata kegagalan moral dan etika para pejabat negara.
PB HMI: Tragedi Ini Adalah Potret Kesombongan Kekuasaan
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) ESDM PB HMI, Taofik Rofi Nugraha, menyebut insiden tersebut sebagai akibat dari “pesta kekuasaan yang dibungkus pencitraan.” Ia menegaskan, pesta yang katanya untuk rakyat itu justru membawa malapetaka.
“Rakyat datang karena diundang, berharap hiburan dan makanan. Tapi pulang membawa luka, bahkan kehilangan orang yang dicintai. Ini bukan sekadar insiden, ini tragedi elitisme,” kata Taofik, Minggu (18/7/2025).
Lebih lanjut, Taofik mendesak Kapolri untuk mencopot Kapolda Metro Jaya, karena diduga menyalahgunakan jabatan publik untuk kepentingan pribadi, termasuk kemungkinan penggunaan fasilitas negara dalam penyelenggaraan acara tersebut.
Desakan Evaluasi untuk Bupati Garut: “Kalau Tak Mampu, Copot Saja”
Kritik keras juga dilayangkan kepada Pemerintah Daerah. Taofik meminta Menteri Dalam Negeri segera mengevaluasi Bupati dan Wakil Bupati Garut yang dianggap gagal mengantisipasi dan mengendalikan potensi kerumunan besar di acara tersebut.
“Kalau kepala daerah tak mampu menjaga keselamatan rakyat dalam acara yang mereka sendiri fasilitasi, untuk apa terus menjabat? Jabatan publik bukan panggung pencitraan,” tegasnya.
Ia menilai, kepala daerah memiliki tanggung jawab strategis dalam mengatur keamanan dan kenyamanan warganya, apalagi dalam kegiatan yang jelas-jelas melibatkan ribuan massa.

Ketimpangan Sosial Mencolok: Saat Rakyat Susah, Elit Pesta Pora
Taofik juga menyinggung ketimpangan sosial yang semakin menyolok. Di tengah tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat bawah, pesta-pesta mewah justru digelar oleh para elit negara.
“Ini bukan hanya soal pesta. Ini tentang empati dan rasa keadilan sosial. Di saat rakyat kesulitan membeli sembako, para pejabat justru memamerkan kemewahan tanpa rasa malu.”
Putri Karlina: Empati Tanpa Protokoler
Namun di tengah amarah publik, muncul satu gestur yang mencuri perhatian: Putri Karlina, tokoh publik yang turut hadir dalam acara tersebut, langsung turun menemui keluarga korban.
Tanpa didampingi rombongan besar atau diselimuti protokoler ketat, Putri mendatangi rumah duka dan menyampaikan belasungkawa secara langsung.
“Saya sangat berduka. Tidak ada yang bisa menggantikan nyawa. Ini luka untuk kita semua,” ujar Putri dengan mata berkaca-kaca.
Langkah Putri ini dinilai banyak pihak sebagai bentuk tanggung jawab moral yang tulus. Ia juga berjanji akan terus mendampingi keluarga korban dalam proses pemulihan emosional dan sosial, meski dirinya tidak terlibat langsung dalam perencanaan acara.
Desakan Nasional: Pemerintah Harus Bertindak Tegas
Tragedi ini menjadi titik balik penting yang memanggil nurani kepemimpinan nasional. Kecaman datang tidak hanya dari organisasi kemahasiswaan, tetapi juga dari aktivis, akademisi, hingga masyarakat sipil.
“Negara tidak boleh bungkam. Ini bukan hanya soal protokol keamanan yang gagal, tapi soal akhlak dan integritas para pejabat. Jika gagal melindungi rakyat, mereka tidak layak menjabat,” tutup Taofik.
Kini, publik menanti langkah tegas dari Kapolri dan Menteri Dalam Negeri. Tragedi ini bukan hanya soal kelalaian, tapi juga pertarungan antara etika kekuasaan dan martabat rakyat. Apakah pejabat yang lalai akan diberi sanksi? Atau justru dilindungi sistem?
Yang jelas, luka ini tak akan sembuh hanya dengan permintaan maaf.***