Pesta Rakyat Berujung Petaka: Pakar Hukum Desak Polisi Usut Aktor Intelektual di Balik Acara Pernikahan Anak Pejabat

HAI GARUT – Tragedi dalam pesta rakyat bertajuk makan gratis yang digelar untuk merayakan pernikahan megah antara Putri Karlina, putri Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto, dan Maula Akar, putra Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, pada 18 Juli 2025 lalu, menyisakan duka mendalam. Tiga nyawa melayang dan 26 orang lainnya luka-luka dalam acara yang disebut-sebut sebagai simbol kedekatan pejabat dengan rakyat.
Namun di balik euforia pesta, muncul pertanyaan besar: siapa yang harus bertanggung jawab?
Suara kritis datang dari kalangan akademisi hukum. Dr. Drs. Cecep Suhardiman, SH., MH., C.Med., dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945, menegaskan bahwa proses hukum atas insiden ini tak boleh berhenti di level event organizer (EO) semata. Menurutnya, aparat penegak hukum harus menelusuri hingga ke akar perencanaan, menyasar siapa yang berada di balik keputusan penyelenggaraan acara.
“Pemeriksaan tak bisa hanya berhenti di EO. Harus ditelusuri siapa penyuruhnya, siapa yang memberi perintah, siapa yang mengatur agenda. Mereka adalah aktor intelektual atau intelektual dader yang berperan di balik layar,” ujar Dr. Cecep, Senin (28/7/2025).
Ia menyoroti bahwa peristiwa ini bukan sekadar kelalaian biasa. Para pelaku harus dijerat dengan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian, dan diperkuat dengan Pasal 55 KUHP mengenai penyertaan dalam tindak pidana. Pasal ini memungkinkan semua pihak yang terlibat, baik sebagai pelaku langsung, penyuruh, hingga penganjur untuk diproses secara hukum.
“Jika ada perintah dari pihak atas untuk menggelar kegiatan, maka mereka tak bisa cuci tangan. Bukti-bukti perencanaan tersebar luas di media sosial. Ini bukan acara mendadak. Ini dirancang,” tegasnya.
Cecep juga menyinggung pentingnya asas Equality Before The Law atau kesetaraan di hadapan hukum. Menurutnya, hukum tak boleh tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Polisi wajib memeriksa siapa pun yang terkait, termasuk pihak-pihak yang memberikan izin dan menjadi pengarah utama kegiatan.
“Keadilan tidak bisa ditegakkan jika hanya pihak kecil yang dikorbankan. Jika rakyat bisa diproses hukum, mengapa tidak pejabat atau keluarganya yang terlibat dalam perencanaan?” katanya lugas.

Hingga saat ini, Polda Jawa Barat telah memeriksa 11 orang, terdiri dari pihak EO, beberapa unsur pemerintahan, dan sejumlah saksi. Namun publik menanti dengan cemas: apakah pemeriksaan akan menembus dinding kekuasaan dan menyentuh tokoh-tokoh besar yang berada di balik pesta rakyat ini?
Pernikahan mewah yang ditampilkan sebagai bentuk kedekatan pejabat dengan rakyat kini berubah menjadi ironi. Duka masih terasa, dan tangis keluarga korban belum berhenti. Yang dibutuhkan kini bukan sekadar klarifikasi, melainkan keadilan yang nyata dan setara untuk semua pihak.***