Forum Penggarap Ex HGU PT Condong Garut Desak Bupati Batalkan SK Redistribusi Lahan, Ancaman Aksi Massal Menguat

Koordinator Forum Warga Penggarap, Elu Ruhiyat

HAI GARUT – Polemik redistribusi lahan garapan ex HGU PT Condong Garut kembali menjadi sorotan publik. Forum Warga Penggarap secara tegas menuntut Bupati Garut, Syakur Amin, untuk segera membatalkan Surat Keputusan (SK) Redistribusi Lahan yang dinilai sarat kejanggalan dan merugikan para penggarap.

Ketegangan ini mencuat pasca diterbitkannya Keputusan Bupati Garut Nomor 100.3.3.2/KEP.469-DISPERKIM/2025 tertanggal 3 Oktober 2025 mengenai penetapan subjek redistribusi tanah di enam desa di Kecamatan Pakenjeng, Bungbulang, dan Cikelet. SK tersebut dianggap tidak sesuai dengan data pelepasan lahan dari PT Condong Garut serta mengandung unsur ketidakadilan dalam pendistribusian.

Koordinator Forum Warga Penggarap, Elu Ruhiyat, bersama kuasa hukumnya Asep Muhidin, SH, MH, menyampaikan bahwa SK tersebut harus dicabut karena telah menimbulkan keresahan dan dianggap merugikan para penggarap yang selama ini mengolah lahan tersebut.

Menurut Elu Ruhiyat, terdapat perbedaan mencolok antara dokumen pelepasan hak (SPH) dari PT Condong Garut dengan dana redistribusi yang tertuang dalam SK Bupati.

Ia mencontohkan temuan di Desa Tegalgede, di mana SPH menyebutkan total lahan mencapai 186 hektare, namun dalam SK hanya tercantum 89,96 hektare yang dialokasikan untuk 641 orang penerima.

“Ini sangat janggal. Kami ingin tahu, kemana sisa lahannya? Data yang berbeda ini harus dijelaskan secara transparan oleh pemerintah,” tegas Elu. Selasa (18/11/2025)

Selain soal pengurangan luas lahan, Forum Warga juga menuding adanya proses pembagian yang tidak transparan di tingkat desa. Panitia atau gugus tugas desa disebut tidak melibatkan seluruh penggarap dalam perumusan pembagian lahan.

Warga juga menilai tidak adanya kriteria jelas dalam penentuan penerima, sehingga diduga terdapat banyak nama yang bukan penggarap asli.

“Dari 641 penerima, sekitar 200 orang bukan penggarap, bahkan ada beberapa bukan warga Desa Tegalgede. Sementara banyak penggarap yang sudah puluhan tahun mengolah lahan justru tidak mendapatkan bagian,” ujar Elu.

Warga juga mempersoalkan ketimpangan pembagian luas lahan. Para penggarap asli rata-rata hanya mendapatkan 2 are (200 m²), sedangkan diduga ada keluarga tertentu yang menerima jatah hingga 3 hektare.

Kasus paling mencolok terjadi di Kampung Jaha. Dari 77 kepala keluarga penggarap, hanya 7 orang yang mendapat jatah redistribusi.

Bahkan, lokasi lahan pun disebut-sebut dibagi secara diskriminatif. Lahan strategis yang datar, dekat jalan dan sumber air, diklaim diberikan kepada kelompok tertentu, sedangkan penggarap asli memperoleh lahan yang jauh dan sulit diakses.

Warga juga mengungkap adanya pungutan sebesar Rp700.000 per penerima dengan alasan biaya administrasi sertifikat. Pungutan itu diduga dilakukan oleh perangkat desa dan kepala desa setempat.

“Ini sangat meresahkan. Kami minta aparat terkait mengusut dugaan pungutan liar ini,” kata Elu.

Atas berbagai dugaan penyimpangan tersebut, Forum Warga Penggarap mendesak Bupati Garut segera membatalkan SK Redistribusi Lahan dan melakukan evaluasi menyeluruh.

Jika tuntutan mereka tidak direspons, warga mengancam akan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di Kantor Desa Tegalgede, Kantor Bupati Garut, dan Kantor BPN.

“Jika SK tidak dicabut, kami akan turun ke jalan,” tegas Elu Ruhiyat.

Ketegangan ini menambah panjang daftar konflik redistribusi lahan di wilayah selatan Garut. Publik kini menunggu langkah konkret Bupati Garut—apakah akan membuka ruang dialog atau tetap mempertahankan SK yang menuai penolakan dari para penggarap. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup