Temuan BPK Bongkar Dugaan Penyimpangan Keuangan Rp2,1 Miliar di 15 Kecamatan Garut, Jaksa Diminta Bertindak Tegas!

HAI GARUT – Dugaan penyimpangan keuangan daerah kembali mencuat. Kali ini, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) menemukan adanya kejanggalan dalam pengelolaan anggaran di tingkat kecamatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Sebanyak 15 kecamatan tercatat harus mengembalikan uang negara senilai total Rp2,1 miliar, hasil pemeriksaan untuk Tahun Anggaran 2024.
Temuan ini sontak menghebohkan berbagai kalangan. Bukan hanya karena jumlah kecamatan yang cukup banyak, tetapi juga karena nilai kerugian negara yang tidak sedikit. Praktik pengelolaan dana publik di level kecamatan yang semestinya transparan dan akuntabel, justru disorot karena potensi penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat.
Daftar Kecamatan yang Tersandung Temuan BPK
Dalam dokumen hasil pemeriksaan, BPK RI menyebutkan bahwa sejumlah kecamatan harus mengembalikan dana ke kas negara. Kecamatan tersebut meliputi:
– Banjarwangi
– Caringin
– Cikelet
– Cilawu
– Cigedug
– Cisurupan
– Cisewu
– Karangpawitan
– Leles
– Limbangan
– Singajaya
– Pameungpeuk
– Peundeuy
– Garut Kota
– Pangatikan
Nominal pengembalian bervariasi, dari yang terkecil sekitar Rp4,3 juta di Kecamatan Pangatikan, hingga yang tertinggi lebih dari Rp345 juta di Kecamatan Limbangan. Sisanya berkisar antara Rp100 juta hingga Rp200 juta per kecamatan.
Respons Bupati Garut: Harus Dikembalikan, Tapi Itu Sebelum Masa Jabatan Saya
Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin, tidak menampik adanya temuan tersebut. Ia menegaskan bahwa pihaknya telah menginstruksikan camat di wilayah yang terdampak untuk segera menindaklanjuti dan mengembalikan dana sesuai rekomendasi BPK.
“Temuan BPK memang ada, dan kita sudah minta agar segera dikembalikan. Saya juga sudah tugaskan DPMPD, Inspektorat, dan Kabag Pemerintahan untuk melakukan pembinaan agar hal seperti ini tidak terulang,” ujar Syakur saat ditemui, Senin (14/7/2025).
Meski demikian, Syakur mengklarifikasi bahwa hanya ada 13 kecamatan, bukan 15, yang disebut dalam laporan resmi yang diterimanya. Ia juga menyebut belum mengetahui secara rinci jumlah total dana yang harus dikembalikan karena sebagian temuan tersebut terjadi sebelum ia menjabat sebagai Bupati Garut.

“Intinya, siapa pun yang bertanggung jawab, harus menyelesaikannya. Ini uang rakyat, tidak boleh main-main,” tegasnya.
Desakan Masyarakat: Kejaksaan Harus Turun Tangan
Temuan ini pun memunculkan reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Banyak pihak mendesak agar Kejaksaan Negeri Garut segera turun tangan untuk menyelidiki lebih lanjut. Jangan sampai kasus ini berhenti hanya pada pengembalian uang, tanpa ada proses hukum yang transparan dan adil terhadap pihak yang diduga lalai atau bahkan menyalahgunakan wewenang.
“Pengembalian uang tidak menghapus dugaan pidana. Harus ada penegakan hukum agar ada efek jera. Kejaksaan jangan tinggal diam,” kata seorang aktivis antikorupsi di Garut.
Ujian Bagi Reformasi Birokrasi
Kasus ini menjadi pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam pembenahan tata kelola pemerintahan daerah, terutama di tingkat bawah. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan berlapis dari berbagai unsur, termasuk masyarakat sipil, harus diperkuat agar anggaran daerah benar-benar digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk memperkaya oknum.
Uang rakyat harus kembali kepada rakyat, bukan menguap di meja birokrasi.***